Oleh : Ade Sutarya
Ketika matahari terbit di ufuk timur dengan sinarnya yang masih kemerah-merahan berselimut awan. Gunung-gunung nampak berwarna kebiru-biruan dan diatasnya melintas pelangi dengan aneka warna yang sangat indah dan menawan hati setelah semalam hujan rintik turun dengan ditemani semilir angin yang berhembus diantara celah-celah bilik rumah.
Suara jangkrik malam itu tergantikan oleh nyanyian suara ayam yang berkokok bersahutan dari sudut setiap rumah warga. Dan kesunyian malam mulai berubah menjadi sorak-soray anak-anak kecil yang berlarian menyabut hari yang baru. Nampaknya sawah dan ladang sedang menantikan kedatangan pak tani yang siap untuk menggarapnya. Pedagang pun sibuk berjualan di pasar. Begitulah kehidupan di sebuah desa. Penuh dengan kedamaian, keharmonisan, rasa solidaritas antar warga yang dijunjung tinggi, nilai-nilai agama dan sosial masih sangat melekat disetiap hati sanubari masyarakat pedesaan.
Betapa indahnya anak-anak itu menari-nari dan bernyanyi bersama orang tuanya, sebagian lagi bersekolah dan memakai pakaian sekolah yang bagus-bagus, sepatu yang bagus, tas yang bagus sehingga anak-anak itu merasa senang dan ceria serta penuh semangat untuk belajar. Berkumpul dan bermain bersama teman-temannya. Pergi sekolah dan pulang diantar-jembut dengan kendaraan roda empat. Uang saku yang selalu tercukupi, sandang dan pangan yang senantiasa ada membuat sang anak menjadi semakin cerdas. Sementara orang tuanya selalu memberikan bimbingan dan arahan agar kelak anak-anaknya menjadi lebih baik lagi dari orang tuanya. Do'a yang selalu dipanjatkan usai sholat untuk sang anak dan belaian kasih sayang yang tiada hentinya dikala sang anak akan tidur di waktu malam.
Menelusuri sebuah jalan yang berkerikil dan berbatu, seorang anak dengan membawa sebuah karung, dengan pakaian yang kotor berjalan diantara tong-tong sampah disisi jalan. Membuka setiap tong dengan harapan akan ada sampah botol aqua dan sampah kardus. untuk dijualnya kepada penadah. Pagi sampai malam ia mengais rejeki untuk makan dari hasil penjualan sampah-sampah itu demi menyambung hidup. Wajahnya yang mulai pucat dan tubuhnya yang lunglai pertanda ia harus istirahat, namun kemanakah ia akan tidur.
Inilah sebuah kisah kehidupan sosial yang mencerminkan suatu keadaan yang bertolak belakang antara kemiskinan dan standar kelayakan untuk kehidupan dan memperoleh pendidikan bagi anak-anak yang layak dan pantas bagi setiap warga negara Indonesia. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945,
Pasal 4 UU No 2/1989 rumusannya adalah "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
(sumber: one.indoskripsi.com)
Bagi sebagian orang pendidikan adalah kebutuhan yang harus dipenuhi tetapi sebagian lagi memandang pendidikan menjadi nomor dua setelah berurusan dengan perut (kehidupan ekonomi. pen). Perhatian pemerintah terhadap standar pendidikan yang amat berat ini merupakan hizab (pembatas) yang amat tegas membedakan antara orang kaya dan orang miskin. Bangku sekolah dan kursi kuliah adalah milik segelintir orang yang memiliki uang, deposit, saham dan kecukupan uang. Tapi bagi pengais sampah aqua dan kardus kursi kuliah hanyalah impian yang berlalu di kala malam tiba dan hilang dikala fajar terbit.
Setiap orang ingin hidupnya sukses dan enggan menjadi orang miskin. Tidak semua orang yang hidup di muka bumi ini dilahirkan dari garis kelahiran darah biru atau darah hijau. Begitupula dengan pendidikan, tentu semua orang ingin mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan tujuan hidupnya dapat lebih baik lagi. Apakah mampu seorang pengais sampah dapat duduk di kursi kuliah dengan uang SPP yang begitu mahal? Apakah mampu ia membeli buku yang disarankan dosen untuk dipelajari sementara uang pendapatannya hanya cukup untuk makan dan uang sewa untuk tidur ?
Disisi lain para pendidik yang bertitel Pegawai Negeri Sipil mendapatkan tempat di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhono dengan kenaikan penghasilan tetapnya. Tapi perhatian terhadap anak-anak yang ingin mengenyam pendidikan masih kurang maksimal.
Dilihat secara persentase, jumlah total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 hingga 3 persen dari total jumlah siswa. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang.
(sumber: www.menegpp.go.id)
Janji-janji para calon pemimpin sewaktu kampanye dengan iming-iming sekolah gratis hanya menjadi wacana saja belum dapat direalisasikan sebagaimana janjinya sewaktu berkampanye dahulu kala. Hal itu hanya untuk menggapai tujuan pribadi saja dan bukan semata-mata datang dari hati sanubarinya melainkan ada kepentingan dibalik itu.
Pemerintah hendaknya pemberikan perhatian khusus kepada kelayakan pendidikan bagi setiap anak yang ingin mengenyam pendidikan, bukan hanya untuk yang mampu namun yang tidak mampu pun semestinya dapat merasakan hal yang sama. Pemerataan pendidikan bagi setiap warga Indonesia berarti sesuai dengan amanat UUD 1945.
Jadi dengan demikian, kuliah bukan lagi menjadi mimpi tetapi menjadi kenyataan.
Ketika matahari terbit di ufuk timur dengan sinarnya yang masih kemerah-merahan berselimut awan. Gunung-gunung nampak berwarna kebiru-biruan dan diatasnya melintas pelangi dengan aneka warna yang sangat indah dan menawan hati setelah semalam hujan rintik turun dengan ditemani semilir angin yang berhembus diantara celah-celah bilik rumah.
Suara jangkrik malam itu tergantikan oleh nyanyian suara ayam yang berkokok bersahutan dari sudut setiap rumah warga. Dan kesunyian malam mulai berubah menjadi sorak-soray anak-anak kecil yang berlarian menyabut hari yang baru. Nampaknya sawah dan ladang sedang menantikan kedatangan pak tani yang siap untuk menggarapnya. Pedagang pun sibuk berjualan di pasar. Begitulah kehidupan di sebuah desa. Penuh dengan kedamaian, keharmonisan, rasa solidaritas antar warga yang dijunjung tinggi, nilai-nilai agama dan sosial masih sangat melekat disetiap hati sanubari masyarakat pedesaan.
Betapa indahnya anak-anak itu menari-nari dan bernyanyi bersama orang tuanya, sebagian lagi bersekolah dan memakai pakaian sekolah yang bagus-bagus, sepatu yang bagus, tas yang bagus sehingga anak-anak itu merasa senang dan ceria serta penuh semangat untuk belajar. Berkumpul dan bermain bersama teman-temannya. Pergi sekolah dan pulang diantar-jembut dengan kendaraan roda empat. Uang saku yang selalu tercukupi, sandang dan pangan yang senantiasa ada membuat sang anak menjadi semakin cerdas. Sementara orang tuanya selalu memberikan bimbingan dan arahan agar kelak anak-anaknya menjadi lebih baik lagi dari orang tuanya. Do'a yang selalu dipanjatkan usai sholat untuk sang anak dan belaian kasih sayang yang tiada hentinya dikala sang anak akan tidur di waktu malam.
Menelusuri sebuah jalan yang berkerikil dan berbatu, seorang anak dengan membawa sebuah karung, dengan pakaian yang kotor berjalan diantara tong-tong sampah disisi jalan. Membuka setiap tong dengan harapan akan ada sampah botol aqua dan sampah kardus. untuk dijualnya kepada penadah. Pagi sampai malam ia mengais rejeki untuk makan dari hasil penjualan sampah-sampah itu demi menyambung hidup. Wajahnya yang mulai pucat dan tubuhnya yang lunglai pertanda ia harus istirahat, namun kemanakah ia akan tidur.
Inilah sebuah kisah kehidupan sosial yang mencerminkan suatu keadaan yang bertolak belakang antara kemiskinan dan standar kelayakan untuk kehidupan dan memperoleh pendidikan bagi anak-anak yang layak dan pantas bagi setiap warga negara Indonesia. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945,
Pasal 4 UU No 2/1989 rumusannya adalah "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
(sumber: one.indoskripsi.com)
Bagi sebagian orang pendidikan adalah kebutuhan yang harus dipenuhi tetapi sebagian lagi memandang pendidikan menjadi nomor dua setelah berurusan dengan perut (kehidupan ekonomi. pen). Perhatian pemerintah terhadap standar pendidikan yang amat berat ini merupakan hizab (pembatas) yang amat tegas membedakan antara orang kaya dan orang miskin. Bangku sekolah dan kursi kuliah adalah milik segelintir orang yang memiliki uang, deposit, saham dan kecukupan uang. Tapi bagi pengais sampah aqua dan kardus kursi kuliah hanyalah impian yang berlalu di kala malam tiba dan hilang dikala fajar terbit.
Setiap orang ingin hidupnya sukses dan enggan menjadi orang miskin. Tidak semua orang yang hidup di muka bumi ini dilahirkan dari garis kelahiran darah biru atau darah hijau. Begitupula dengan pendidikan, tentu semua orang ingin mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan tujuan hidupnya dapat lebih baik lagi. Apakah mampu seorang pengais sampah dapat duduk di kursi kuliah dengan uang SPP yang begitu mahal? Apakah mampu ia membeli buku yang disarankan dosen untuk dipelajari sementara uang pendapatannya hanya cukup untuk makan dan uang sewa untuk tidur ?
Disisi lain para pendidik yang bertitel Pegawai Negeri Sipil mendapatkan tempat di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhono dengan kenaikan penghasilan tetapnya. Tapi perhatian terhadap anak-anak yang ingin mengenyam pendidikan masih kurang maksimal.
Dilihat secara persentase, jumlah total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 hingga 3 persen dari total jumlah siswa. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang.
(sumber: www.menegpp.go.id)
Janji-janji para calon pemimpin sewaktu kampanye dengan iming-iming sekolah gratis hanya menjadi wacana saja belum dapat direalisasikan sebagaimana janjinya sewaktu berkampanye dahulu kala. Hal itu hanya untuk menggapai tujuan pribadi saja dan bukan semata-mata datang dari hati sanubarinya melainkan ada kepentingan dibalik itu.
Pemerintah hendaknya pemberikan perhatian khusus kepada kelayakan pendidikan bagi setiap anak yang ingin mengenyam pendidikan, bukan hanya untuk yang mampu namun yang tidak mampu pun semestinya dapat merasakan hal yang sama. Pemerataan pendidikan bagi setiap warga Indonesia berarti sesuai dengan amanat UUD 1945.
Jadi dengan demikian, kuliah bukan lagi menjadi mimpi tetapi menjadi kenyataan.