Pudarnya Tata Krama Paskibra
Oleh : Ade Sutarya
Oleh : Ade Sutarya
Paskibra identik sekali dengan kedisiplinan, namun belakangan ini ciri khas yang sudah melekat puluhan tahun itu mulai pudar. Banyak prinsip-prinsip dasar yang mulai hilang seperti contoh cara berpakaian, cara mengenakan sepatu, cara mengenakan lencana keanggotaan, cara berjalan, cara bersikap, cara berbicara yang kesemuanya itu sudah diatur dalam pembinaan latihan Paskibra. Paskibra memang dapat dibilang eksklusif, karena dilihat dari style pakaiannya diharuskan rapi, mengenakan ikat pinggang hitam, kemeja dimasukan dan bersepatu hitam yang bersih dan mengkilap. Sayang sekali hal-hal yang positif seperti itu jarang sekali kita temukan dilingkungan Paskibra. Jika ada kegiatan kepaskibraan saja adat istiadat seperti itu dilaksanakan, itupun hanya sebagian kecil saja yang melaksanakan sisanya sebatas sepengtahuan mereka saja yang dicampuradukan dengan gaya modern seperti sekarang ini. Lalu untuk apa pendidikan yang sudah dibentuk selama latihan toh tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal sikap-sikap positif seperti berpakaian rapih perlu dilestarikan karena hal itu mencerminkan sikap dan perilaku seorang yang berpendidikan dan dihormati. Berbeda dengan orang-orang yang tidak berpakaian rapi akan terkesan berbeda. Dari situlah akan tercermin suatu pandangan dari orang lain, bahwa anggota Paskibra memang berbeda dan menjadi identitas special dari organisasi lainnya. Citra berpakaian rapi seperti yang sekarang ini sudah beralih arti.
Seharusnya kita sebagai anggota Paskibra peka terhadap lingkungan sekitar, dan sadar betul apa yang kita lakukan itu diperhatikan oleh orang lain. Orang lain akan mengatakan buruk apabila kita berperangai buruk begitupun sebaliknya. Paskibra akan dikatakan buruk bukan karena sistemnya yang buruk tetapi karena anggotanya yang tidak mau taat pada aturan sehingga melakukan hal-hal negatif sehingga nama baik Paskibra tercemar menjadi buruk. Citra itu penting karena menyangkut nama baik, oleh sebab itu sudah sepatutnya kita sebagai anggota menyadari betul tentang arti dan peran sebagai anggota maupun alumni Paskibra.
Kenapa Paskibra bisa maju pesat dari tahun 90-an sampai sekarang, banyak faktor yang membuat maju tetapi satu hal yang perlu digaris bawahi adalah citra yang melekat pada Paskibra itu sendiri, yaitu kediciplinan. Salah satu contoh kediciplinan itu sendiri adalah cara berpakaian atau berpenampilan yang sangat mencolok sekali dalam kehidupan sehari-hari sebagai indetitas Paskibra. Bila kita perhatikan secara seksama baik dalam lingkungan sekolah ataupun sewaktu ivent Paskibra sangat jarang sekali almamater Paskibra melekat pada diri/individu Paskibra. Sebagai contoh lencana keanggota yang wajib dikenakan oleh anggota baik itu kelas 1 ataupun kelas 2 dan kelas 3. Pada prinsipnya mereka sadar bahwa keharusan itu memang menjadi tanggung jawab moral tetapi pelaksanaanya tidak demikian. Malu menjadi kambing hitam alasan mereka tidak mengenakan.
Siapakah yang mencetus papan nama yang sering digunakan calon anggota Paskibra saat latihan, ya Paskibra itu sendiri. Tetapi sekarang hampir semua kegiatan ekstrakulikuler memakai cara -cara Paskibra seperti papan naman yang dikenakan didepan dada. Lalu kenapa anggota paskibra itu sendiri tidak memakainya. Apakah hal itu tidak baik atau perlu direformasi. Kalau memang papan nama itu harus diamandemen seperti undang-undang lalu apa penggantinya yang cocok. Selama ini toh papan nama itu dipakai setengah-setengah dalam arti tidak totalitas. Sekali lagi "malu" dijadikan kambing hitam untuk alasan yang klasik.
Justru ekschool disekolah-sekolah sudah menerapkan sistem Paskibra sementara Paskibra sendiri mulai menghilangkanya kenapa? Sebenarnya pola pikir kita yang harus diperbaiki bukan sistemnya yang harus dihilangkan, boleh dihilangkan tetapi harus ada penggantinya. Bukan berarti hilang tanpa jejak. Sebenarnya banyak manfaat yang dapat kita gali hanya dari papan nama, dengan adanya papan nama dapat mengenal satu-sama lain, dengan adanya papan nama lebih mengakrabkan calon-calon anggota paskibra yang baru. Adapun bila diganti dengan papan nama yang lain sebaiknya dipertimbangkan masak-masak baik dan buruknya, baru diambil satu kesepakatan. Tindak lantas meninggalkannya begitu saja.
PDH (Pakaian Dinas Harian) Pun Ikut Raib
Coba perhatikan Paskibra yang ada disekolah masing-masing, benarkan PDH itu masih menjadi pakaian kebesaran Paskibra disetiap kegiatannya? Ya, masih.
Kata masih itu masih harus dipertanyakan, benarkah masihnya itu 100% atau hanya ungkapan lisan belaka.
Saya sangat sedih sekali ketika melihat adik-adik Paskibra sekolah melaksanakan kegiatan Desa Bahagia, ketika itu mereka mengenakan PDH, khususnya bagi wanita. Bila melihat 10 tahun yang lalu ketika Paskibra dapat dibilang masih belum begitu berkembang seperti sekarang. Tampak sekali cara mengenakan PDH itu sama percis seperti tampak pada foto diatas. Begitupun bagi wanitanya tampak anggun, sedangkan bagi laki-lakinya tampak gagak dan tampan. Sekilas saya pun berfikir flasback membandingkan dengan masa lalu. Keadaannya bukan menjadi baik malah bertambah kacau dan tidak karuan.
Keadaannya ironis sekali dan sangat menyedihkan. Tata cara mereka mengenakan pakaian PDH sungguh tidak mencirikan Paskibra malah seperti siswa biasa. Hal itu tampak sekali dari Baju PDH yang kebesaran, atribut yang tidak lengkap seperti nama, LK, LA, Epolet dan monogram ataupun tanda kesatuan. Yang lebih kurang pantas untuk dilihat adalah tata cara mereka mengenakan dasi yang salah kaprah. Dasi yang mereka pakai tidak menempal pas di leher tetapi menggantung di bawah leher, sebagaimana siswa-siswa mengenakan dari sekolah. Mereka pun tidak merasa bangga ketika mengenakan PDH. Padahal jika PDH itu dikenakan dengan tata cara yang benar tentu akan nampak sekali seperti seorang Pilot Pesawat yang hendak tinggal landas membawa ratusan penumpang.
Di dalam acara latihan biasa atau sebut saja latihan rutin berapa orang yang mengenakan PDH, kebanyakan mereka hanya memakai PDL (Pakaian Dinas Latihan). Bukankah keaneka ragaman kostum diarena latihan akan menambah semangat junior-junior dan sekaligus memperkenalkan aneka macam pakaian Paskibra. Keadaan tersebut diperparah dengan kehadiran senior-senior yang serba senono saat berkunjung ke lapangan hanya dengan mengenakan sandal jepit. Bukankah kita diajurkan untuk rapi? Tetapi senior sendiri yang tidak mencontohkan, lalu kepada siapa nantinya mereka akan mencontoh kalau yang dicontoh tidak taat sama aturan. Memang keadaan sekarang sudah seperti itu dimana adat istiadat mulah runtuh bukan karena zaman tetapi karena internal individunya sendiri yang meruntuhkan sistem. Paskibra akan berjaya jika individu-individunya sadar akan aturan yang telah dibuatnya dan dilaksanakan dengan totalitas. Begitu pun sebaliknya kejayaan paskibra akan runtuh karena ulah dari dalamnya sendiri.
Yang besar hilang apalagi yang kecil-kecil
Sebagian dari kita merehkan dan bahkan menganggap enteng persoalan sehingga suatu saat terjadi permasalahan baru berbenah diri. Kurangnya sistem pengkaderan dan regenerasi keilmuan Paskibra dari senior ke junior semakin kurang, para pelatih lebih fokus kepada latihan untuk memperebutkan juara umum perlombaan baris-berbaris ketimbang memperhatikan organisasinya sendiri. Coba sekarang tanyakan kepada junior anda masing-masing, siapakah pendiri Paskibra, bagaimana sejarah Paskibra sekolah anda terbentuk, ceritakan sejarah bendera, dll. Mungkin anda sendiri tidak tahu.
Beberapa waktu lalu saya survey ke sekolah dan bertanya tentang seputar Paskibra kepada beberapa orang capasek, hampir semua pertanyaan seputar sejarah tidak bisa dijawab. Jadi selama mereka latihan teori-teori paskibra sama sekali tidak diperkenalkan. Mungkin juga disekolah anda sendiri sama? Lalu bagaimana mereka bisa berkembang dan mengetahui siapa induknya. Sementara mereka sendiri tidak pernah diperkenalkan kepada induknya? Selama ini sistem yang berjalan adalah hanya materi fisik seperti baris-berbaris saja.
Ada yang hilang dari sistem pembinaan paskibra sekarang. Dan itu harus segera diperbaiki. Jangan sampai menjadi senjata makan tuan. Mereka tidak punya identitas nantinya jikalau mereka sendiri tidak kenal apa itu Paskibra. Yang mereka tahu adalah hadap kanan, hadap kiri dan balik kanan.
Para pelatih hendaknya memperhatikan pola-pola latihan, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Paskibraka. Mungkin menurut sebagian pelatih tidak relefan dengan paskibra sekolah. Tetapi adat istiadat Paskibra mengenai pola patihan haruskah dihilangkan? Membawa roti, membawa air membawa handuk goodmorning, membawa topi, memakai kaos latihan, memakai sepatu warrior atau sejenisnya, mengenakan ikat pinggang hitam, datang harus tepat waktu dan tidak boleh terlambat, sebelum latihan apel dan sesudah latihan apel juga, selalu ada koreksi sebelum latihan, menyiapkan materi lagu bagi pelatih, adanya olahraga sebelum latihan, apakah masih ada sampai sekarang.
Mungkin kegiatan seperti itu sudah tidak relefan di zaman sekarang, lalu apakah ada solusi yang lebih baik? Apakah olahraga pagi itu tidak baik untuk kesehatan, apakah berdoa sebelum latiha itu tidak baik, apakah koreksi setiap awal latihan itu tidak baik, apakah memakai topi, membawa air, membawa roti itu tidak baik? Lalu apa solusi yang lebih baik dari itu? Rujak party sebelum latihankah? Datang semaunyakah? Tidak boleh dikoreksi sebelum latihankah? Makan lebih baik bebas di jalanankah? Apakah makan bersama itu tidak baik, justru akan menambah/menamamkan kebersamaan dan kekeluargaan. Apakah koreksi itu tidak relefan, justru agama Islam yang mulia menyuruh kita untuk saling nasehat-menasehati dalam kebenaran. lalu apa yang harus diganti?
Kita tidak pernah memahami pola-pola yang terkandung dalam aturan yang sudah dibuat itu, hanya saja kita ini inginnya bebas tanpa aturan dan tidak mau terikat dengan aturan. Loh kalau begitu kenapa ikut Paskibra? Bukankah kita tinggal di rumah pun ada aturannya, bukankah kita beragama juga ada aturannya, kalau tidak ingin aturan pindah saja ke negara yang tidak punya aturan. Dimanapun kita tinggal dan berada pasti ada aturan, mau atau tidak mau kita harus mau.
Pola pandang kita terlalu sempit untuk menilai pola latihan paskibra, dan kita tidak memfokuskan pada sisi positif dari pola latihan itu. Sehingga yang ada adalah bayang-bayang kesusahan, kebosanan, dan terkesan stagnan.